Selasa, 11 November 2014

Tentang DPRD Provinsi

DPRD PROVINSI
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
Pasal 314
DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 315
DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 316
(1) DPRD provinsi mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi.
Bagian Ketiga . . .
- 153 -
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tugas
Pasal 317
(1) DPRD provinsi mempunyai wewenang dan tugas:
a. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan . . .
- 154 -
k. melaksanakan wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Bagian Keempat
Keanggotaan
Pasal 318
(1) Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.
(2) Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(3) Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 319
(1) Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat paripurna DPRD provinsi.
(2) Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Pasal 320 . . .
- 155 -
Pasal 320
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 319 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal 321
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan provinsi setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD provinsi di provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menetukan . . .
- 156 -
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum; dan
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU provinsi induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD provinsi hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Hak DPRD Provinsi
Pasal 322
(1) DPRD provinsi berhak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak . . .
- 157 -
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota
Paragraf 1
Hak Anggota
Pasal 323
Anggota DPRD provinsi berhak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Paragraf 2 . . .
- 158 -
Paragraf 2
Kewajiban Anggota
Pasal 324
Anggota DPRD provinsi berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Bagian Ketujuh
Fraksi
Pasal 325
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas DPRD provinsi, serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi.
(2) Setiap . . .
- 159 -
(2) Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD provinsi menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan DPRD Provinsi
Pasal 326
(1) Alat kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Badan . . .
- 160 -
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Pasal 327
(1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi.
(3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam . . .
- 161 -
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
Pasal 328
(1) Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) belum terbentuk, DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD provinsi.
(2) Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD provinsi.
(3) Dalam . . .
- 162 -
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD provinsi.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(5) Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293 yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Pasal 329
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi;
b. DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi
Paragraf 1
Hak Interpelasi
Pasal 330
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. Paling . . .
- 163 -
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Paragraf 2
Hak Angket
Pasal 331
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
Pasal 332 . . .
- 164 -
Pasal 332
(1) DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331 ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.
(3) Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 333
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 334 . . .
- 165 -
Pasal 334
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.
Pasal 335
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat
Pasal 336
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
Pasal 337 . . .
- 166 -
Pasal 337
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak Anggota
Paragraf 1
Hak Imunitas
Pasal 338
(1) Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2 . . .
- 167 -
Paragraf 2
Hak Protokoler
Pasal 339
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak protokoler.
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Paragraf 3
Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 340
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, pimpinan dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesebelas
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Paragraf 1
Persidangan
Pasal 341
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa . . .
- 168 -
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.
Pasal 342
Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 343
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pengambilan Keputusan
Pasal 344
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 345
(1) Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur;
b. rapat . . .
- 169 -
b. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
a. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi.
Pasal 346 . . .
- 170 -
Pasal 346
Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Pasal 347
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Bagian Kedua Belas
Tata Tertib dan Kode Etik
Paragraf 1
Tata Tertib
Pasal 348
(1) Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi.
(3) Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan;
g. penggantian . . .
- 171 -
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler; dan
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
Paragraf 2
Kode Etik
Pasal 349
DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD provinsi.
Bagian Ketiga Belas
Larangan dan Sanksi
Paragraf 1
Larangan
Pasal 350
(1) Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota . . .
- 172 -
(2) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPRD provinsi serta hak sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Disetujui, Timus 24
Paragraf 2
Sanksi
Pasal 351
(1) Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
Pasal 352
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 353 . . .
- 173 -
Pasal 353
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350.
Pasal 354
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.
Bagian Keempat Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu
Pasal 355
(1) Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD provinsi;
c. dinyatakan . . .
- 174 -
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Pasal 356
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(4) Menteri . . .
- 175 -
(4) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur.
Pasal 357
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD provinsi.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD provinsi paling lama 7 (tujuh) Hari meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling . . .
- 176 -
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(7) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur.
Pasal 358
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (1), Badan Kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu
Pasal 359
(1) Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (1) dan Pasal 357 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam . . .
- 177 -
(2) Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikannya.
Pasal 360
(1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU provinsi.
(2) KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
(4) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri.
(5) Paling . . .
- 178 -
(5) Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 319 dan Pasal 320.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pasal 361
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 3
Pemberhentian Sementara
Pasal 362
(1) Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam . . .
- 179 -
(2) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Tentang Dewan Perwakilan Daerah

DPD
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
Pasal 246
DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 247
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 248
(1) DPD mempunyai fungsi:
a. pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut . . .
- 122 -
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; serta
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
(2) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah.
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tugas
Pasal 249
(1) DPD mempunyai wewenang dan tugas:
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menyusun . . .
- 123 -
c. menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i. menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya.
Pasal 250 . . .
- 124 -
Pasal 250
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang dan tugas DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Keempat
Keanggotaan
Pasal 252
(1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang.
(2) Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu per tiga) jumlah anggota DPR.
(3) Keanggotaan . . .
- 125 -
(3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden.
(4) Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya.
(5) Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 253
(1) Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPD.
(2) Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Pasal 254
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa . . .
- 126 -
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 255
(1) Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan pemilihan umum tidak diadakan pemilihan anggota DPD sampai dengan pemilihan umum berikutnya.
(2) Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum.
Bagian Kelima
Hak DPD
Pasal 256
DPD berhak:
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
d. melakukan . . .
- 127 -
d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota
Paragraf 1
Hak Anggota
Pasal 257
Anggota DPD berhak:
a. bertanya;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Paragraf 2
Kewajiban Anggota
Pasal 258
Anggota DPD berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan . . .
- 128 -
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
e. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
f. menaati tata tertib dan kode etik;
g. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
i. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Bagian Ketujuh
Alat Kelengkapan
Pasal 259
(1) Alat kelengkapan DPD terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Panitia Musyawarah;
c. panitia kerja;
d. Panitia Perancang Undang-Undang;
e. Panitia Urusan Rumah Tangga;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 1 . . .
- 129 -
Paragraf 1
Pimpinan
Pasal 260
(1) Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
(2) Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD.
(3) Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda usianya.
(4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
(5) Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan keputusan DPD.
(6) Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Pasal 261
(1) Pimpinan DPD bertugas:
a. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. menjadi juru bicara DPD;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD;
e. mengadakan . . .
- 130 -
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPD;
f. mewakili DPD di pengadilan;
g. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD; dan
i. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 2
Panitia Musyawarah
Pasal 262
Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
Pasal 263
(1) Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal dan acara persidangan.
(2) Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD dapat menetapkan jadwal dan acara tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Musyawarah diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 3 . . .
- 131 -
Paragraf 3
Panitia Kerja
Pasal 264
(1) Panitia kerja dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan panitia kerja ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia kerja dipimpin oleh pimpinan panitia kerja.
Pasal 265
(1) Tugas panitia kerja dalam pengajuan rancangan undang-undang adalah mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan undang-undang tertentu.
(2) Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.
(3) Tugas panitia kerja dalam pemberian pertimbangan adalah:
a. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang diajukan DPR.
(4) Tugas panitia kerja di bidang pengawasan adalah:
a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu; dan
b. membahas hasil pemeriksaan BPK.
Pasal 266 . . .
- 132 -
Pasal 266
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja panitia kerja diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 4
Panitia Perancang Undang-Undang
Pasal 267
(1) Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia Perancang Undang-Undang dipimpin oleh pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang.
Pasal 268
(1) Panitia Perancang Undang-Undang bertugas:
a. merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPD;
b. membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
c. melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
d. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau sidang paripurna;
e. melakukan . . .
- 133 -
e. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh panitia kerja;
f. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang; dan
g. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya.
Pasal 269
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Perancang Undang-Undang diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 5
Badan Kehormatan
Pasal 270
(1) Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Pasal 271
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258;
b. tidak . . .
- 134 -
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD.
(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.
Pasal 272
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan wewenang dan tugas Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Paragraf 6
Panitia Urusan Rumah Tangga
Pasal 273
(1) Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan . . .
- 135 -
(2) Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga.
Pasal 274
(1) Panitia Urusan Rumah Tangga bertugas:
a. membantu pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPD;
b. membantu pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPD;
c. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;
d. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Panitia Musyawarah; dan
e. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Panitia Urusan Rumah Tangga dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal DPD.
(3) Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan berikutnya.
Pasal 275 . . .
- 136 -
Pasal 275
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Urusan Rumah Tangga diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Wewenang dan Tugas DPD
Paragraf 1
Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pasal 276
(1) DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang berdasarkan program legislasi nasional.
(2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disertai dengan naskah akademik dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja.
(3) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan menjadi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dalam sidang paripurna DPD.
Pasal 277
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
(2) Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebut juga Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut.
Pasal 278 . . .
- 137 -
Pasal 278
(1) DPD menyampaikan daftar inventarisasi masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak diterimanya usulan rancangan undang-undang dari DPR atau Presiden.
(2) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR dan Presiden dengan surat pengantar pimpinan DPD.
Pasal 279
Dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf b dan huruf c, DPD menyampaikan pandangan dan pendapat dalam pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1), Pasal 170 ayat (2) huruf b dan huruf e, serta Pasal 170 ayat (4) huruf b.
Pasal 280
Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pemberian Pertimbangan
terhadap Rancangan Undang-Undang
Pasal 281
DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf c kepada pimpinan DPR.
Pasal 282 . . .
- 138 -
Pasal 282
(1) Terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
(2) Terhadap rancangan undang-undang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR setelah diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 176.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 3
Pemberian Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK
Pasal 283
(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai calon anggota BPK.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 192.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 4 . . .
- 139 -
Paragraf 4
Penyampaian Hasil Pengawasan
Pasal 284
(1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf d kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 5
Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK
Pasal 285
(1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan oleh pimpinan BPK kepada pimpinan DPD dalam acara yang khusus diadakan untuk itu.
(2) DPD menugasi panitia kerja untuk membahas hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK setelah BPK menyampaikan penjelasan.
(3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi DPR.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembahasan hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Kesembilan . . .
- 140 -
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak Anggota
Paragraf 1
Hak Bertanya
Pasal 286
(1) Anggota DPD mempunyai hak bertanya.
(2) Hak bertanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan wewenang dan tugas DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) huruf e.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak bertanya diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 2
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat
Pasal 287
(1) Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 3
Hak Memilih dan Dipilih
Pasal 288
(1) Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 4 . . .
- 141 -
Paragraf 4
Hak Membela Diri
Pasal 289
(1) Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Paragraf 5
Hak Imunitas
Pasal 290
(1) Anggota DPD mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPD ataupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPD.
(3) Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPD maupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPD.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6 . . .
- 142 -
Paragraf 6
Hak Protokoler
Pasal 291
(1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 7
Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 292
(1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPD dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesepuluh
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Paragraf 1
Persidangan
Pasal 293
(1) Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Kegiatan . . .
- 143 -
(3) Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD.
(4) Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang mengikuti masa sidang DPR.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPD dan anggota DPR mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPD atau DPR secara bergantian.
Pasal 294
Semua rapat di DPD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 295
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pengambilan Keputusan
Pasal 296
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat atau sidang DPD pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 297 . . .
- 144 -
Pasal 297
(1) Setiap rapat atau sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat atau sidang.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat atau sidang ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPD.
Pasal 298
Setiap keputusan rapat DPD, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, menjadi perhatian semua pihak yang terkait.
Pasal 299
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Kesebelas
Tata Tertib dan Kode Etik
Paragraf 1
Tata Tertib
Pasal 300
(1) Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD.
(3) Tata . . .
- 145 -
(3) Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. pemilihan dan penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. penggantian antarwaktu anggota;
g. pembentukan, susunan, wewenang dan tugas alat kelengkapan;
h. pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler;
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
m. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Paragraf 2
Kode Etik
Pasal 301
DPD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD.
Bagian Kedua . . .
- 146 -
Bagian Kedua Belas
Larangan dan Sanksi
Paragraf 1
Larangan
Pasal 302
(1) Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPD serta hak sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Paragraf 2
Sanksi
Pasal 303
(1) Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.
Pasal 304 . . .
- 147 -
Pasal 304
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 305
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302.
Pasal 306
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Bagian Ketiga Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu
Pasal 307
(1) Anggota DPD berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota . . .
- 148 -
(2) Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; atau
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 308
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c diusulkan oleh pimpinan DPD yang diumumkan dalam sidang paripurna.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pimpinan DPD diumumkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
Pasal 309 . . .
- 149 -
Pasal 309
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf f, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPD mengenai pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPD kepada sidang paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPD yang telah dilaporkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(4) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
Pasal 310
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1), Badan Kehormatan DPD dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Paragraf 2 . . .
- 150 -
Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu
Pasal 311
(1) Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
(3) Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya.
Pasal 312
(1) Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPD.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling . . .
- 151 -
(4) Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 253 dan Pasal 254.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Paragraf 3
Pemberhentian Sementara
Pasal 313
(1) Anggota DPD diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPD.
(3) Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota . . .
- 152 -
(4) Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sekilas Tentang MPR

MPR

Susunan dan Kedudukan
  • MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
  • MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.


Wewenang dan Tugas
MPR berwenang:
  • mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
  • memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  • melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
  • memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
  • memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

MPR bertugas:
  1. memasyarakatkan ketetapan MPR;
  2. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
  4. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3) Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keanggotaan
Pasal 7
(1) Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
(2) Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 8
(1) Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR.
(2) Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Hak dan Kewajiban Anggota
Hak Anggota
Anggota MPR berhak:
  1. a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
  3. c. memilih dan dipilih;
  4. d. membela diri;
  5. e. imunitas;
  6. f. protokoler; dan
  7. g. keuangan dan administratif.


Kewajiban Anggota

Anggota MPR berkewajiban:
  1. a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
  3. c. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  4. d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  5. e. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
  6. f. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.


Fraksi dan Kelompok Anggota MPR
Fraksi
(1) Fraksi merupakan pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
(2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.
(5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
(6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.

Kelompok Anggota
Pasal 13
(1) Kelompok anggota merupakan pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD.
(2) Kelompok anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.
(3) Pengaturan internal kelompok anggota sepenuhnya menjadi urusan kelompok anggota.
(4) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas kelompok anggota.

Alat kelengkapan MPR terdiri atas:
a. pimpinan; dan
b. panitia ad hoc MPR.

Pimpinan
Pasal 15
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
(2) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna.
(4) Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MPR.
(5) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.
(7) Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
(8) Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau kelompok anggota yang berbeda.
(9) Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Pasal 16
(1) Pimpinan MPR bertugas:
a. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara MPR;
d. melaksanakan putusan MPR;
e. mengoordinasikan . . .
- 11 -
e. mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
f. mewakili MPR di pengadilan;
g. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan
h. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Pasal 16
Pasal 17
(1) Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.
(3) Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota dari fraksi atau kelompok anggota asal pimpinan MPR yang bersangkutan menggantikannya paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak pimpinan berhenti dari jabatannya.
(4) Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan dilaporkan dalam sidang paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota.
PPPPPasal 1
A
Pasal 18 . . .
- 12 -
Pasal 18
(1) Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih berhenti dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
(2) Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR yang bersangkutan tidak boleh melaksanakan tugasnya.
(3) Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan MPR yang bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai pimpinan MPR.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Panitia Ad Hoc MPR
Pasal 20
(1) Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.
(2) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.
Pasal 21 . . .
- 13 -
Pasal 21
(1) Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh MPR.
(2) Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera menyelenggarakan rapat untuk membahas dan memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR.
Pasal 22
(1) Panitia ad hoc MPR bertugas:
a. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan
b. menyusun rancangan putusan MPR.
(2) Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang paripurna MPR.
(3) Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, dan tugas panitia ad hoc MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Bagian Ketujuh
Pelaksanaan Wewenang dan Tugas
Paragraf 1
Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24
(1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 25 . . .
- 14 -
Pasal 25
(1) Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh paling sedikit 1/3 (satu per tiga) dari jumlah anggota MPR.
(2) Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Pasal 26
(1) Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.
(2) Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya yang meliputi:
a. jumlah pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan
b. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak usul pengubahan diterima.
Pasal 27
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan kelompok anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
Pasal 28 . . .
- 15 -
Pasal 28
(1) Dalam hal usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya.
(2) Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lama 60 (enam puluh) Hari.
(3) Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Pasal 29
Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya;
b. fraksi dan kelompok anggota MPR memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan
c. membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul.
Pasal 30
(1) Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
(2) Fraksi dan kelompok anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil kajian panitia ad hoc.
Pasal 31 . . .
- 16 -
Pasal 31
(1) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR.
(2) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan terhadap usul pengubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Hasil Pemilihan Umum
Pasal 33
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.
Pasal 34
(1) Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum.
(2) Pimpinan MPR mengundang pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR.
(3) Dalam . . .
- 17 -
(3) Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
(5) Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(6) Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
(7) Berita acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR.
(8) Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan.
Pasal 35
Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji . . .
- 18 -
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Paragraf 3
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam Masa Jabatannya
Pasal 36
(1) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR.
Pasal 37
(1) MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak MPR menerima usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).
(2) Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) harus dilengkapi putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 38 . . .
- 19 -
Pasal 38
(1) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(2) Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil keputusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(3) Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota yang hadir.
Pasal 39
(1) Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya.
(2) Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya.
(3) Keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Pasal 40
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri sebelum diambil keputusan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), sidang paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) tidak dilanjutkan.
Paragraf 4 . . .
- 20 -
Paragraf 4
Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden
Pasal 41
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Pasal 42
(1) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 43
Sumpah/janji Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sebagai berikut:
Sumpah Presiden:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji Presiden:
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pasal 44 . . .
- 21 -
Pasal 44
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Pasal 45
Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.
Paragraf 5
Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden
Pasal 46
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) Hari untuk memilih Wakil Presiden.
(2) Presiden mengusulkan 2 (dua) calon Wakil Presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR.
(3) Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang diusulkan oleh Presiden.
(4) Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.
(5) Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden.
(6) Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi.
(7) Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon wakil presiden.
Pasal 47 . . .
- 22 -
Pasal 47
(1) MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) atau ayat (7) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 48
Sumpah/janji Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sebagai berikut:
Sumpah Wakil Presiden:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji Wakil Presiden:
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pasal 49 . . .
- 23 -
Pasal 49
Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Paragraf 6
Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 50
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Pasal 51
(1) Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara ber-samaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
(2) Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
(3) Paling . . .
- 24 -
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan calon presiden dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR.
(4) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan kesediaannya secara tertulis yang tidak dapat ditarik kembali.
(5) Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
(6) Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Pasal 52
(1) Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan pemungutan suara.
(2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
(3) Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama banyak, pemungutan suara diulang 1 (satu) kali lagi.
(4) Dalam . . .
- 25 -
(4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang oleh MPR.
(5) Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6).
Pasal 53
(1) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 54
Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji . . .
- 26 -
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pasal 55
Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ditetapkan dengan ketetapan MPR.
[
Pasal 56
Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Hak Anggota
Paragraf 1
Hak Imunitas
Pasal 57
(1) Anggota MPR mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
(3) Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
(4) Ketentuan . . .
- 27 -
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Hak Protokoler
Pasal 58
(1) Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 59
(1) Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan MPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak anggota MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Bagian Kesembilan . . .
- 28 -
Bagian Kesembilan
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Paragraf 1
Persidangan
Pasal 61
(1) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara.
(2) Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan wewenang dan tugas MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pengambilan Keputusan
Pasal 63
Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:
a. dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. dihadiri paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Pasal 64 . . .
- 29 -
Pasal 64
(1) Pengambilan keputusan dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 terlebih dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara ulang.
(4) Dalam hal pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hasilnya masih belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan:
a. pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau
b. usul yang bersangkutan ditolak.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan sidang MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Bagian Kesepuluh
Penggantian Antarwaktu
Pasal 66
(1) Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila terjadi penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD.
(2) Pemberhentian dan pengangkatan sebagai akibat penggantian antarwaktu anggota MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
BAB III . . .
- 30 -