Selama paruh kedua abad ke-20, jumlah parlemen bertambah secara dramatis di seluruh dunia. Menurut kajian the Inter-Parliamentary Union (IPU), sebanyak 190 dari 193 negara memiliki lembaga perwakilan, dengan susunan anggota sebanyak 46.000 wakil rakyat. Meskipun demikian, diantara jumlah itu, hanya 45% yang benar-benar lembaga demokratis, sementara 20% lainnya bercorak sebagai “hybrid regime.” Dengan kata lain, keberadaan lembaga parlemen tidak serta merta bersinonim dengan demokrasi dan sebaliknya, keberadaannya amat ditentukan oleh faktor politik. Keberadaan lembaga perwakilan penting sebagai gagasan legitimasi negara dan kemampuanny auntuk menghadirkan kepentingan umum. Dalam konteks ini, lembaga perwakilan membentuk hubungan antara perhatian kepentingan rakyat dengan apa yang dapat diberikan. Parlemen kemudian dianggap begitu berkuasa, berpengaruh, tetapi eksistensi forum publik untuk mewujudkannya merupakan suatu prasyarat untuk legitimasi pemerintah.
Dewasa ini parlemen mempunyai akar dalam bermacam-macam konteks, yang merefleksikan kecenderungan semua bentuk masyarakat untuk membentuk suatu badan guna berdikusi, bermusyawarah, dan mewakili kepentingan rakyat. Bentuk-bentuk kelembagaan semacam ini dikenal di banyak negara, dari bentuk “Majelis” yang lazim dipraktikkan di Arab sampai apa yang dikenal sebagai “the panchayat” di India. Di Afrika, suku-suku mewujudkannya dalam berbagai bentuk dan aturan. Di Afganistan, jirgas digunakan untuk meredam konflik dan saluran untuk memperluas komunikasi. Kebutuhan untuk bersama-sama, berbicara, dan mewakili diwujudkan dari penamaan parlemen. Di sejumlah negara, lembaga perwakilan dinamakan “parliament” yang terambil dari bahasa Prancis “parler”, yang artinya berbicara, karena bagaimanapun itulah tujuan dari setiap anggota parlemen. Hampir 40% nama parlemen di dunia ditujukan dengan istilah yang berarti “pertemuan” atau “majelis” seperti congress, Diet (Jepang), Knesset (Israel), Skupstina (di beberapa negara Balkan), Majlis (di banyak negara Arab). Dalam tradisi Nordic, istilah yang dipakai Riksdagen (misalnya Finlandia, Swedia) yang dapat diterjemahkan sebagai “pertemuan nyata” ; kemudian istilah Althingi (Islandia), Folketinget (Denmark), dan Starting (Norwegia).
Suatu jajak pendapat oleh World Public Opinion menekankan pentingnya keterwakilan sebagai prinsip pemerintah yang telah mendunia, di mana ada 85% pendapat yang percaya bahwa kehendak rakyat harus menjadi dasar pemerintahan” dan 84% menyatakan bahwa pemimpin pemerintahan harus dipilih melalui pemilu. Pendapat seperti itu diperkuat dengan fenomena Arab Spring di awal 2011 yang menempatkan keterwakilan parlemen sebagai tuntutan rakyat dan pencapaian demokrasi yang lebih besar. Di negara Mesir dan Tunisia, peran dan kekuasaan parlemen sangat penting untuk membahas pembentukan negara pasca revolusi. Serupa dengan itu, di negara Yaman, Yordania, dan Oman, janji untuk mengembalikan kedaulatan parlemen banyak dilakukan untuk memenuhi gugatan rakyat. Perndeknya, Parlemen tampak sebagai simbol dan elemen kunci pembentukan “pemerintahan perwakilan.”
Berbagai struktur parlemen yang ada di dunia sekarang ini berpangkal kepada tradisi Eropa sejak abad pertengahan. Parlemen Islandia, Athingi, dianggap sebagai parlemen yang ada pertama kali di dunia, sejak tahun 930 SM, sebagai forum permusyawaratan pemimpin-pemimpin lokal. House of Commons (Inggris) sudah ada sejak abad ke-13, sebagai tempat berdiskusi masalah kenegaraan dan persetujuan transfer dana dari kerajaan kepada komunitas lokal. .
Bentuk-bentuk itu kemudian ditularkan ke banyak negara terutama selama masa kolonisasi oleh Eropa. Perkembangan menjadi bentuk demokrasi modern dilakukan oleh Amerika pada abad ke-17 dan abad ke-18. Para pendiri negara mempertimbangkan pembentukan suatu majelis di setiap 13 koloni untuk memeisahkan diri dari kekuasaan Inggris dan , setelah merdeka, menjadi parlemen negara bagian yang terpisah dari eksekutif, dan dengan cara masing-masing memperoleh kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Pengaruh model Amerika ini kemudian menyebar di banyak negara, terutama di kawasan Amerika Latin dan Tengah.
Di Eropa, sebaliknya, Parlemen tumbuh seiring dengan sejarah panjang pemerintahan, dengan kekuasaan yang ditentukan sebagai bagian dari hubungan dengan kerajaan. Sebagai hasilnya, ada sebaran yang kompleks mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, dalam hal mana Parlemen, kemudian mempunyai kekuasaan semakin besar dan berhubungan dengan kelahiran partai politik. Model Eropa ini banyak mempengaruhi struktur parlemen di Afrika, Asia, dan Timur Tengah.
Warisan historis parlemen sampai sekarang masih terus menerus berlangsung. Evolusi parlemen di bekas negara komunis di Eropa Timur pada 1990, misalnya, merupakan campuran dari sejarah panjang setiap negara yang bersangkutan. Misalnya, Polandia, parlemen memiliki kekuasaan besar hingga akhir abad ke-18 dan merupakan warisan Soviet, akan tetapi juga dipengaruhi model Jerman, merupakan contoh pertumbuhan yang mencerminkan lokalitas dalam perjalanan perubahan sistem diktator ke demokrasi.
Parlemen Afrika dan di anak benua India secara tajam tampak sebagai warisan kolonialisme. Praktik penjajahan Inggris yang membentuk badan legislatif di wilayah tersebut tidak diikuti dengan kekuasaan legislatif, akan tetapi cenderung untuk berperan sebagai badan penasehat guna memberikan pertimbangan ke pemerintahan Inggris. Sekalipun Parlemen di Kenya sudah ada sejak 1906, tetapi anggotanya tak pernah dilantik sampai tahun 1944. Namun lembaga semacam ini menjadi dasar pembentukan parlemen di banyak negara Afrika setelah kemerdekaan. Meskipun diantara negara itu mengalami sistem presidensial sejak zaman penjajaan Inggris, akan tetapi juga membentuk parlemen model Westminter, yang dipilih lewat pemilu, dengan keterbatasan pengaruh atas kebijakan publik dan anggaran. Parlemen di Australia dan Selandia Baru, serta Kanada, jelas melanjutkan tradisi kolonial dan model pertanggungjawaban pemerintah mereka ditiru di banyak negara. Namun model parlementer Inggris semacam itu tidak banyak dikenal di negara Afrika yang dijajah oleh Prancis. Tetapi setelah merdeka, negara-negara ini sekaligus mengadopsi tradisi Prancis, Belgia, dan Portugis.
Susunan keanggotaan parlemen tidak sama di setiap negara. Di Cina, Kongres Rakyat Nasional mempunyai 3.000 anggota, terbesar di dunia, dan diikuti oleh Inggris dengan 1.400 anggota untuk kedua kamar parlemen. Rasio terhadap jumlah penduduk juga bermacam-macam. Di India, 1 anggota berbanding dengan 1,5 juta penduduk. Di Amerika rasio itu sekitar 590.000 dan Bangladesh 470.000. Di Tuvalu, setiap 15 anggota Parlemen mewakili 667 orang dan di San Marino, satu anggota mewakili 517 orang.
Sehubungan dengan pengaruh dan kekuasaan, jenis-jenis parlemen tertentu disatukan sebagai badan penasehat, seperti Majelis Syura di Arab Saudi. Badan ini didirikan pada 1993, yang ditunjuk sebagai lembaga penasehat, tanpa kekuasaan legislatif dan pengawasan, tetapi efektif menjalankan fungsi kepansehatan terhadap monarki. Model ini sama dengan model Soviet dulu, seperti yang ada di Vietnam, yang hanya rapat 2 kali sebulan dalam setahun dan kekuasaan legislatif diperoleh dari Partai Komunis.
Kongress Meksiko, setiap anggota dapat dipilih hanya untuk satu periode dan dilarang mencalonkan diri kembali, guna membatasi pengaruh parlemen. Di ujung spectrum lain, Kongress di Amerika dan Bundestag di Jerman begitu berpengaruh dalam perpolitikan nasional.anggaran Kongres Amerika adalah yang terbesar di dunia (US$ 5,12 miliar), diikuti dengan Jepang (US$ 1,71 miliar), dan Prancis (US$ 1,17 miliar).
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/05/24/parlemen-sejarah-dan-pertumbuhan-di-dunia-562889.html
0 Comment to "Parlemen : Sejarah dan Pertumbuhannya di Dunia"
Posting Komentar