Kamis, 25 Desember 2014

Ketika Suara Rakyat Di Ujung Tanduk

Tahun 2014 merupakan tahun politik. Di tahun inilah pertarungan politik sengit terjadi. Sejak awal hingga tahun hampir berakhir politik terus gaduh dan ribut. Puncak dari kegaduhan itu sebenarnya terjadi di pertengahan tahun, saat Pemilihan Presiden digelar. Imbasnya, pergulatan seperti tanpa akhir. Bahkan parlemen yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat malah terbelah. Para wakil rakyat asik sendiri menyuarakan kepentingan kelompoknya.

Di tahun inilah, juga karena efek dari rivalitas politik saat Pilpres, hak demokrasi rakyat untuk memilih pemimpinnya di daerah hampir dirampas.

Awalnya, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginisiasi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). RUU ini adalah salah satu dari tiga pecahan UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Dua lainnya adalah UU Desa dan revisi UU Pemerintah Daerah.

Draft RUU Pilkada mengatur soal Pilkada yang tak lagi dipilih rakyat, melainkan oleh DPRD. RUU ini sudah digodok di DPR sejak 2012. Di awal penggodokan, hampir sebagian besar fraksi di DPR saat itu menolak usulan tersebut. Kecuali Fraksi Demokrat yang merupakan pendukung utama pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan PKS belum menyatakan sikapnya.

Singkat cerita pada 2014 Pilpres berlangsung. Partai-partai yang mendukung calon presiden membentuk koalisi. Pengusung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menamakan dirinya Koalisi Merah Putih (KMP). Koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Partai Demokrat tak bergabung dengan koalisi tapi mendukung Prabowo-Hatta, meski pernyataan dukungannya terkesan malu-malu. Dan sangat hati-hati.

Sementara partai-partai pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla bergabung dan mendeklarasikan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan satu-satunya partai baru yang lolos ke Senayan, Partai NasDem, adalah empat partai yang mendirikan koalisi ini.

Melalui perhitungan suara cepat, pasangan Prabowo-Hatta kalah. Meski belum mengakui kekalahan, karena belum ada perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), KMP buru-buru menyatakan koalisi permanen. Mereka mendeklarasikan sebagai koalisi penyeimbang. Demokrat tak tegas menyatakan diri di dalamnya. Tapi selalu mendukung langkah KMP.

Di akhir masa tugas DPR periode 2009-2014, RUU Pilkada dibahas dan siap disahkan. Fraksi-fraksi yang di awal menolak Pilkada tak langsung atau dipilih DPRD kali ini justru berbalik mendukungnya. Mereka adalah fraksi-fraksi yang bergabung di KMP, Gerindra, PAN dan Golkar.

Analisis sebagian pengamat politik menyatakan langkah partai-partai ini adalah dampak dari kompetisi Pilpres yang keras dan sengit. KMP yang merasa kalah di Pilpres ingin menunjukkan giginya. Perubahan sikap tanpa alasan yang jelas ini dinilai sarat muatan politik.  

"Koalisi Merah Putih merapatkan barisan dalam pembahasan RUU Pilkada. Saya lihat ini adalah langkah awal dari skenario untuk melumpuhkan efektifitas pemerintahan Jokowi," kata Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti dalam dialog Bincang Pagi Metro TV, Sabtu (6/9/2014).

Ray Rangkuti menyatakan, tak ada argumentasi kuat atas perubahan sikap Gerindra, Golkar, dan PAN di penghujung masa bakti DPR.

"Mereka berbalik mendukung pemilihan melalui DPRD tanpa alasan yang jelas. Ini sarat muatan kepentingan politik balas dendam karena kalah pilpres ketimbang memikirkan kepentingan rakyat," ungkap Ray Rangkuti.  

Di rapat paripurna, 26 September 2014, KMP benar-benar kompak. Parahnya lagi, Demokrat yang menghendaki Pilkada langsung justru memutuskan untuk walk out. Akhirnya, Pilkada oleh DPRD dipilih mayoritas anggota DPR. Dari 361 hak suara, 135 anggota dewan memilih opsi Pilkada secara langsung. Mereka adalah anggota fraksi-fraksi yang tergabung di KIH. Sementara 226 memilih opsi Pilkada dipilih DPRD. Rata-rata adalah anggota KMP. DPR mensahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Wali Kota.

Publik langsung bereaksi. Mereka tak rela kehilangan hak politik. Kecaman juga ditujukan untuk Partai Demokrat yang memutuskan WO. SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat pun tak lepas dari hujatan. SBY membantah dirinya yang memerintahkan WO. SBY berjanji akan mengusut dan memberi sanksi orang yang memerintahkan Fraksi Demokrat keluar dari ruang sidang.

Kecaman kian kencang. Desakan agar SBY bertindak untuk mengembalikan Pilkada langsung semakin hari semakin menjadi. Akhirnya di senja kekuasaannya pada 2 Oktober 2014, SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Wali Kota. Perppu ini untuk mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014.

Selain itu, SBY juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada Januari 2015 nanti nasib Perppu itu ditentukan di DPR. Banyak kalangan menilai, jika tak ada manuver politik luar biasa, Perppu akan lolos jadi UU dan mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014. Itu karena sebagian partai sudah menyatakan dukungan terhadap Perppu. Termasuk partai-partai yang tergabung dalam KMP. Di awal, SBY dan KMP sudah membuat kesepakatan untuk menggolkan Perppu. Meski di tengah perjalanan salah satu kubu di Partai Golkar, yang kini terbelah, menyatakan akan memperjuangkan Pilkada lewat DPRD.

Namun akhirnya manuver politik SBY membuat sikap Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie itu berubah haluan menjadi mendukung Perppu.  

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan pun yakin Perppu tak akan menemui hambatan berarti untuk disahkan menjadi UU di parlemen, Januari nanti. Dari konstalasi saat ini, kata dia, partai besar baik di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun Koalisi Merah Putih (KMP) mendukung Perppu Pilkada langsung.

"Soal Perppu ini sebenarnya sudah selesai, akan mulus-mulus saja, akan lancar," tegas Ramadhan dalam diskusi politik di Jakarta, Rabu (17/12/2014). Tahun depan akan menjadi tahun penentuan nasib hak politik rakyat. Apakah masih bisa memilih pemimpin daerahnya atau harus merelakan suaranya diwakili DPRD. Parlemen akan menentukannya.

Pilkada Langsung dan Figur Pemimpin Muda

Pilkada langsung memunculkan figur-figur pemimpin muda yang menjadi harapan rakyat. Misalnya, Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung, ada juga Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Saat ini, Pilkada langsung tengah menanti nasibnya. Parlemen akan menentukan. Bisa jadi kepala daerah tetap dipilih rakyat. Tapi tak menutup kemungkinan dipilih lewat DPRD.

Ridwan Kamil merupakan salah satu kepala daerah yang menggugat UU Nomor 22 Tahun 2014. Dia ingin Pilkada tetap dipilih rakyat secara langsung. “Pada prinsipnya saya tidak akan bisa hadir tanpa Pilkada langsung. Orang seperti saya tak akan terpilih seandainya Pilkada tak langsung. Kemarin (Pilkada Kota Bandung), kalau voting di DPR saya kalah, kursi (partai pendukung ) saya cuma 12. Tapi kalau votingnya ke rakyat, saya menang, karena mereka bisa memilih kepala daerah yang diinginkan,” kata Ridwan Kamil.

Pada Pilkada Kota Bandung 2013, Ridwan Kamil bersama pasangannya Oded Muhammad Danial berhasil meraup suara 45,24%. Pasangan ini mengungguli calon-calon lain. Pria yang akrab disapa Kang Emil ini dianggap akan mampu membenahi Kota Bandung dari berbagai macam persoalannya.

Emil meluncurkan berbagai program, di antaranya Bandung Juara. Arsitek yang memiliki ratusan karya ini juga berhasil memindahkan pedagang kaki lima di tujuh titik di Kota Bandung untuk tak lagi mengganggu keindahan dan lalu lintas kota. Emil juga membangun taman-taman kota.

Selain Emil ada juga Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap sebagai pemimpin masa depan. Ahok semula adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Joko Widodo yang terpilih menjadi gubernur. Selepas Jokowi dilantik menjadi presiden, Ahok secara otomatis menggantikan posisi yang ditinggalkan Jokowi.

Saat DPR mensahkan RUU Pilkada, Ahok memutuskan keluar dari Partai Gerindra. Padahal, partai besutan Prabowo Subianto itu adalah yang mengusungnya pada Pilgub DKI Jakarta. Namun karena Gerindra menjadi salah satu partai yang mendukung Pilkada tak langsung, Ahok kecewa dan akhirnya keluar.

Ahok dinilai pemimpin daerah yang visioner. Dia kini mencoba membenahi infrastruktur Jakarta. Misalnya membangun 6 ruas tol dalam kota dan jalan layang untuk bus. Pembangunan ini diharapkan bisa mengurangi kemacetan. Ahok juga akan mengembangkan kawasan wisata pantai di Jakarta.

Selain Ridwan Kamil dan Ahok, Pilkada langsung juga mengorbitkan pemimpin-pemimpin daerah yang relatif muda, berenergi dan visioner lainnya. Ganjar Pranowo adalah salah satunya. Gubernur Jawa Tengah ini punya program “Agenda 18” yang banyak menuai pujian.

Ada juga Wali Kota Surabaya periode 2010-2015 Tri Rismaharini atau Risma. Risma dikenal sebagai sosok pekerja keras yang menjadi salah satu nominasi wali kota terbaik dunia 2012 yang digelar The City Mayors Foundation. Wanita kelahirn 20 November 1961 ini membenahi Surabaya dengan berbagai cara. Kini Surabaya dikenal sebagai kota besar yang bersih. Banyak taman dan mendukung pedestrian dengan konsep modern. 

Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/25/336646/kaleidoskop-2014-hak-demokrasi-rakyat-di-ujung-tanduk

Share this

0 Comment to "Ketika Suara Rakyat Di Ujung Tanduk"

Posting Komentar